1. “Ana Catur Mungkur”
Artinya: Membicarakan hal negatif orang lain.
Dalam interaksi dengan orang lain, siapa yang tidak mau menjaga nama
baik mereka, semua orang selalu senantiasa menjaga nama baiknya dalam
pembawaan diri. Pengakuan atas diri sebagai identitas yang unik adalah
bagian dari keberadaan diri.
Untuk itulah setiap orang harus berprestasi dalam bidang mereka
masing-masing agar secara mutlak keberadaan diri dapat berfungsi secara
maximal.
Nah.. Masalahnya lain adalah banyak sekali orang yang ingin diakui
keberadaannya dengan cara menjelekan, mengunjingkan, menfitnah orang
lain untuk sebenarnya ingin menunjukan keberadaan diri atau secara ego
dianggap diakui.
Yang lebih parah, jika seorang melakukan kesalahan fatal, dan orang lain
berusahan memberitahu, orang tersebut malah menjadikan orang lainnya
seperti tameng diri untuk menghindari atau menutupi kesalahannya, bahkan
bisa berbalik menuduh orang yang menasehatinya sebagai biang, dan
membicaran hal yang jelek tentang orang lain.
Maka menjadi yang berperan utama dan berprestasi, jauh lebih baik sebagai diakuai orang lain akan keberadaan diri.
- Dalam kehidupan berumah tangga, “Ana Catur Mungkur”, pantang untuk
membicarakan hal buruk tentang pasangannya kepada orang lain, apalagi
sekedar untuk gagah-gagahan kalau semua temannya bercerita tentang
kejelekan pasangan mereka. Jika ada masalah hendaklah diselesaikan
masalah, masalah negatifnya pribadi pasangan tetaplah dibawa hanya
sampai pintu utama rumah, artinya tidak perlu dibawa-bawa kemana-mana,
malah bercerita hanya untuk pembenaran diri.
-
Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), sebagai orang
tua/guru, perannya sebagai pemimpin, memimpin dengan memberikan contoh,
bukan memimpin dengan menjatuhkan orang lain agar terlihat lebih hebat.
Kalau demikian terjadi, maka akan berdampak pada anak/murid cenderung
punya alasan untuk melakukan sesuatu yang jahat. Berbahaya!!!
- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), ada
kata-kata bahwa jangan mencampuri urusan orang lain, yang bermakna
jangan menyematkan tuduhan yang negatif kepada orang lain, agar kita
dianggap baik.
2. “Jajah Desa Malang Kori”
Artinya: Menjelajah kemana-mana.
Saat kehidupan wadah fisik kita kali ini, merupakan bagian yang
sangat kecil penjelajahan kita dalam kehidupan sebenarnya yang begitu
luas sebelum dan sesudahnya.
Kita sudah kemana-mana dan akan juga kemana-mana, yang hanya ada
tujuan untuk kita menjadi tabib ataupun menjadi pasien untuk kehidupan
ini.
Hidup kita saat ini juga tidak lepas dari
pencarian, agar kita bisa terus menerus mendapatkan keilmuan pengertian
(Kawruh), yang mana intinya adalah apakah kwalitas diri (hidup) anda
meningkat? Kalau belum, maka anda belum kemana-mana walaupun anda telah
pergi jauh menyeberang samudra, melewati benua.
- Dalam kehidupan berumah tangga, “Jajah Desa Malang Kori”, juga
mengajarkan untuk tidak pernah berhenti mencari, menambah pengertian
senantiasa untuk membangun keluarga yang tetap utuh.
- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua dan
guru yang hebat (benar) adalah mereka yang mempersiapkan langkah/jalan/
anak-anak/murid mereka untuk senantiasa selalu bersih dan benar.
- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat),
senantiasa berbagi dan menerima semua saudara yang telah datang dan
pergi guna untuk selalu menjadi suatu motivasi saling asah asih asuh.
3. “Rawe Rawe Rantas Malang-Malang Putung”
Artinya: Maju tak gentar, pantang Mundur.
Berjuang untuk selalu mencapai apa yang menjadi kemauan diperlukan suatu semangat lebih yang tak kenal menyerah.
Manusia yang sengsara atau menderita bukan lantaran ada garis hidup demikian, tapi kebanyakan karena mereka yang mudah menyerah.
- Dalam kehidupan berumah tangga, “Rawe Rawe Rantas Malang-Malang
Putung”, bubarnya suatu keluarga, lantaran salah satu atau dua-duanya
mudah menyerah dan tidak berani menghadapi apa yang ada di depan,
cenderung khawatir. Maka pesan orang tua, sekali sudah melangkah dalam
membagun rumah tangga, pertahankan seumur hidup.
- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak/murid yang
berhasil yang maju tak gentar, pantang mundur.. Merekalah yang berhasil
akan mencapai ilmu yang dicari.
- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat),
saling menyemangati, saling mendukung agar terus maju dalam setiap
usaha, akan saling meningkatkan kwalitas, sehingga terbentuk suatu
masyarakat yang beradab.
4. “Ugak Ugak Pager Arang”
Artinya: Mempermalukan orang lain.
Kata malu disini adalah lebih kearah merendahkan yang lain, yang
memperlihatkan aib orang lain. Satu tindakan yang bisa berakibatkan
dendam yang tak berkesudahaan, yang memperpanjang sejarah permusuhan
yang tak pernah berhenti.
Jika satu batang pohon bisa menghasilkan seribu batang korek api,
demikian pula dengan satu batang korek api dapat membakar habis isi satu
hutan.
Artinya bahwa satu lembaga/keyakinan/organisasi/agama bisa menghasilkan
ribuan orang tercerahkan, namun satu orang dari sana juga bisa
menghancurkan moral (hal benar) seisi dunia.
Hal ini tak lain adalah karena bersifat agresif untuk mempermalukan satu
sama lain, dan merasa puas, sehingga dendam tak kunjung usai.
Berhentilah menilai buruk orang lain dan berhentilah memperburuk
keadaan. Anda butuh di sembuhkan, Aku butuh disembuhkan, Dia butuh
disembuhkan, Mereka butuh disembuhkan, jadi mari kita semua berhenti
sejenak saja untuk tidak mempermalukan orang lain, dengan label
penilaian buruk kita.
- Dalam kehidupan berumah tangga, “Ugak Ugak Pager Arang”, cinta itu
adalah membangun dan memperbaiki, jika ada sesuatu yang buruk, bukanlah
untuk dipermalukan, tapi untuk diperbaiki dan dibangun kembali.
Aib pasangan aib anda juga, demikian sebaliknya, maka perbaikilah!
- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak/murid yang
baik dan tidak mempermalukan orang tua dan gurunya adalah menjalankan
dengan sungguh-sungguh yang dimengertinya.
- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat),
saling hormat menghormati, sopan santun, dan menjaga martabat dari orang
lain adalah ciri masyarakat membangun komunitas secara sehat tanpa ada
saling mencurigai dan menuduh.
5. “Weruh Ing Grubyug, Ora Weruh Ing Rembug.”
Artinya: Ikut-ikutan namun tidak mengerti permasalahannya.
Jaman telah berubah, dan akan terus berubah, jika kita tidak mau
berubah maka akan punah tergilas perubahan itu sendiri. Namun demikian,
jangan sampai kita ikut-ikutan yang tidak jelas jentrungannya, perubahan
tidaklah melulu masalah dari A menjadi B (berubah) tapi bisa jadi
adalah dari A menjadi memahami secara utuh A, yang bisa beperan secara
lengkap fungsi A secara utuh.
Kasihan banyak generasi ikut-ikutan era globalisasi karena merasa
bahwa adalah suatu jaman era modern (serba iptek), akhirnya terjebak
sendiri dalam ikuta-ikuta tidak jelas, sehingga gampang untuk di jajah
dalam segala bidang.
Kita diajak untuk harus tahu/weruh segala permasalahan yang ada,
jangan ikut-ikutan arus.. Jika tidak mengerti maka lebih baik berhenti
sejenak dan belajar…
- Dalam kehidupan berumah tangga, “Weruh Ing Grubyug, Ora Weruh Ing
Rembug.”, jika komunikasi mandeg pada salah satunya, maka yang lain
harusnya bisa menunggu sejenak jangan ikut-ikutan untuk mutung mandeg
juga, dalam hal lain berlaku untuk emosional.
Berhenti/menunggu sejenak agar mengerti dan dapat melihat secara jernih dan jelas.
- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), jangan menjadi
penonton yang terlalu ashik untuk ikut-ikutan terhadap apa yang di
lakukan oleh orang tua/guru, karena kita belum bisa memahami apa maksud
dari laku-nya.
Kerjanya anak dan murid adalah belajar bukan sebagai juri yang menilai apa yang dilakukan orang tua dan murid.
- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat),
mencampuri urusan dan permasalahan yang terjadi, padahal tidak mengerti
apa-apa, justru akan memperkeruh suasana, justru membuat hubungan
masyarakat dari kita menjadi memburuk, bahkan cennderung rusak.
Lebih bijak kita tetap menjaga ke”ashik”an dalam gotong royong.
6. “Dhemit Ora Ndulit Setan Ora Doyan”
Artinya: Selalu dalam keselamatan tanpa adanya goda.
Semboyan sakti sebagai alasan dan kabing hitam sering kita denger
adalah kalau seseorang tidak selamat karena berbuat salah, kita akan
denger bahwa manusia itu tidak bisa luput dari kesalahan atau manusia
tempatnya salah.
Ah… kenapa manusia malang seperti itu? Padahal harusnya manusia selalu dalam keselamatan bahkan tidak ada gangguan yang berarti.
Menunut dasarnya sesuatu terjadi pada manusia, sebenarnya bukanlah
karena manusia tempatnya salah, jika tidak terjadi keselamatan, tapi
memang lantaran dari dasar manusia tidak memiliki kesadaran, kenapa bisa
tidak sadar, karena tidak mau belajar, kenapa tidak mau belajar, karena
merasa sudah tahu, kenapa merasa sudah tahu, karena bersikap mental
bodoh, kenapa bersikap mental bodoh, karena tak berbudi, kenapa tak
berbudi, karena tidak berkemauan baik.
Atau kalau dibalik bahwa Jika kita tidak Berkemauan Baik, maka kita
akan tak memiliki budi, sehingga menyebabkan sikap mental yang bodoh,
yang membawa kita menjadi manusia yang merasa tahu, akibatnya kita tidak
mau belajar lagi, yang akhirnya menjadi tidak memiliki kesadaran.
Keselamatan adalah milik semua manusia yang memiliki Kemauan yang
baik, namun kalau masih malang maka kemauannya masih semu/palsu.
- Dalam kehidupan berumah tangga, “Dhemit Ora Ndulit Setan Ora
Doyan”, keluarga yang terhindar dari bencana, adalah mereka yang
membangun komunikasi yang efektif… Keluarga yang membangun komunikasi
efektif adalah mereka akan bahagia menikmati keselamatan.
- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua dan
guru, senantiasa akan menyiapkan agar anak-anak dan murid mereka selalu
akan dalam keadaan selamat, maka selalu akan memberikan yang terbaik
segala yang di minta, tapi bahayanya kalau Kemauan Baik tidak di
tanamkan dari awal, maka nanti berbentuk suatu hal yang sebaliknya dari
keinginan awal.
- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), kita
diajarkan untuk selalu saling bertegur sapa dan selalu siap untuk
membantu yang lain, dan pada hakekatnya adalah membangun masyarakat yang
dalam keselamatan/kebahagiaan. Untuk itu kita jangan lupa juga harus
saling menanamkan sikap Jiwa besar agar kita saling
memaafkan/mengampuni, dan jiwa murah hati, agar bisa saling memberi.
7. “Kebo Bule Mati Setra”
Artinya: Yang pintar tapi tidak dipergunakan kepintarannya.
Kita yang hidup bersama senantiasalah selalu saling untuk mengisi,
salah satu yang terlupakan dalam saling mengisi kehidupan ini adalah
kadang kita melupakan kepintaran dari orang lain untuk mengisi hidup
kita, kita malahan lebih sering mencurigai, menilai orang lain dengan
ukuran kepintaran kita, sehingga banyak yang pintar disekitar kita,
justru kita tidak bisa belajar dari mereka karena tidak bisa
memanfaatkan kepintaran mereka, lantaran kita merasa lebih pinter.
Maka lepaskanlah diri dari belenggu bahwa kita paling tahu dan paling pinter, orang lain belum tahu apa-apa!
Demikian juga kita kadang tidak bisa memanfaatkan kepintaran sendiri
untuk bisa membantu diri sendiri dan orang lain, kita lebih cenderung
ashik membanding-bandingkan dan memberikan kesimpulan yang disematkan
pada orang lain.
Setiap orang memiliki kepintaran pada bidang tertentu, jangan menganggurkan kepintaran orang lain dan diri sendiri.
- Dalam kehidupan berumah tangga, “Kebo Bule Mati Setra”, hampir dari
semua budaya menganut paham patriakat atau laki-laki lebih unggul,
sehingga banyak dari para istri selalu menjadi pelengkap (bahkan
penderita), manfaatkanlah kepintaran istri/pasangan hidup kita, untuk
bisa membangun keluarga yang benar-benar menjadi sigaraning nyowo,
bukan merasa lebih unggul atau lebih pintar, tapi seiya sekata, sejiwa.
- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), manfaatkan
sebaik-baiknya orang tua/guru kita, selagi mereka masih mendampingi,
jangan menyesal saat mereka sudah tidak ada, karena anak/murid tidak
memanfaatkan setiap moment.
- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat),
ciri-ciri mereka yang selalu siap berbagi kepintarannya dan juga orang
yang pintar kita bisa manfaatkan kepintarannya untuk membangun
masyarakat yang lebih baik adalah mereka yang mengerti dan melakukan apa
yang dimengertinya, bukan mereka yang bisa menjawab semua pertanyaan.
8. “Timun Wungkuk Jaga Imbuh”
Artinya: Menjadi pelengkap atau cadangan.
Pribahasa yang cukup kita kenal yaitu “Tak ada rotan, akar pun jadi”,
apapun yang bisa kita pakai untuk melengkapi kekurangan yang ada, maka
bisa secara baik dipakai. Itu adalah cerminan bagaimana kreatifitas
berjalan, ini gambaran pemanfaatan barang tapi bukan untuk manusia.
Namun sebagai manusia, untuk usaha dan sikap mental pada diri, maka kita
tidak boleh hanya sekedar menjadi cadangan atau pelengkap penderita,
yang artinya bahwa kita bukan yang beperanan utama atas diri kita.
Kita bisa menjadi manusia yang punya peran penting dalam hidup kita
sendiri maupun orang lain. Andalah yang menentukan harga diri anda
sendiri, seorang bijak mengatakan bahwa “yang dapat menyakiti diri
kita, hanya jika kita sendiri mengijinkannya”, jadi sebenarnya kita
tidak bisa disakiti selama kita menjadi berperanan.
Demikian hal nya peran kita, kita hanya bisa memerankan diri atau tidak, itu kitalah yang berpegang pada diri sendiri.
Jadilah manusia yang memiliki peranan utama.
- Dalam kehidupan berumah tangga, “Timun Wungkuk Jaga Imbuh”, Hai…
para istri/wanita, anda bukanlah pelengkap penderita, atau ban serep
bagi suami/pasangan anda. Maka tampillah menjadi istri/wanita yang
memiliki peran penting dalam mencintai dan membangun keluarga. Dan hai..
para suami/lelaki, jangan menyia-nyiakan istri hanya diperankan sebagai
pembantumu, gundikmu, yang hanya engkau manfaatkan saat untuk memenuhi
keegoisan diri, cintailah dan bangunlah bersama agar keluarga menjadi
beperan utama dalam kepemimpinan yang tunggal, bukan hanya satu pribadi
saja.
- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), anak atau murid
bukanlah hanya untuk menjadi sekedar diberitahu saja, yang hanya
melaksanakan perintah-perintah, tapi suatu saat akan menjadi mengerti
dan yang berperan utama yaitu menjadi orang tua atau guru itu sendiri.
- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), kalau
kita adalah pemengang peran utama, maka estafetkan pula kepada yang
lain agar punya kesempatan untuk berperan, itulah sikap untuk membangun
masyarakat yang saling melengkapi untuk lebih baik. Janganlah “one man
show” dan orang lain selalu salah atau hanya pelengkap saja.
9. “Kekudhung Walulang Macan”
Artinya: Melakukan perbuatan jelek/jahat dengan berlindung dibalik nama besar.
Menurut para psikolog dan ahli tingkah laku, bahwa hampir 90% tingkah
laku atau apa yang dilakukan sehari-hari oleh manusia, sepenuhnya di
gerakan atau tanpa sadar di kendalikan oleh alam bawah sadar yang kita
sendiri bisa jadi tidak menyadari.
Dari pernyataan di atas tersebut, tentunya tingkah yang tidak sadar
adalah suatu aktiftitas yang dilakukan secara berturut-turut dilakukan
dengan terus menerus sehingga terbentuk suatu kebiasaan. Dan kebiasaan
tentunya dilakukan sebelumnya dengan sadar, dengan demikian bahwa apapun
dilakukan dengan sadar, nantinya berujung pada tingkah laku yang
dilakukan dengan kebiasaan yang telah tertanam dalam alam bawah sadar.
Ini juga bisa menandakan kita bertanggung jawab atas tindak tanduk kita.
Zaman ini adalah jaman seperti manusia kehilangan jati diri sendiri,
mengapa? Karena kita banyak lihat bahwa orang-orang banyak melakukan
sesuatu karena membawa nama dan mengatas namakan nama besar baik
pribadi, kelompok, golongan, organisasi bahka agama. Celakanya adalah
kelakukan yang dilakukan adalah tindakan atau perbuatan jelek/jahat pada
orang lain, ini bisa disebut tidak bertanggung jawab atau berlindung
atas nama besar, untuk men-legal-kan perbuatan-nya.
Sungguh memang di sayangkan, bahwa kita masih menjalankan kehidupan
ini dalam tatanan yang tak bertanggung jawab, atau bersifat
mempertahankan diri, bisa juga disebut Kahewanan (mempertahankan hidup
dengan mengorbankan yang lain).
Mari kita menjadi pribadi-pribadi yang lebih bertanggung jawab atas
apa yang kita lakukan, tidaklah perlu menuntut pertanggung jawaban orang
lain yang sebenarnya mungkin karena anggapan-anggapan kita yang tidak
bertanggung jawab pula. Yang jelas janganlah mengatas namakan!
- Dalam kehidupan berumah tangga, “Kekudhung Walulang Macan”,
perselisihan bisa terjadi, selesaikan dengan pikiran jernih hati yang
gembira, tidak perlu mencela atau menyudutkan pasangan dengan mengatas
namakan nama besar seperti: cinta, kebahagian, orang tua, bahkan Tuhan,
misalnya tidak cocok, mau cerai, berselingkuh lalu mengatas namakan
bahwa kalau memang bukan kehendak tuhan pasti tidak terjadi, semua kan
sudah kehendaknya…
Ini rusak dan Parah bukan? Kalau arek Surabaya bilang “Kehendak
gundulmu!!!”, bikin salah tapi masih berlindung atau melempar tanggung
jawab.
- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), ngasuh
pengertian dari orang tua atau guru, hendaklah akan membuat anak/murid
menjadi pribadi yang menjadi bertanggung jawab, yang tentu tidak boleh
berlindung pada nama besar orang tua dan guru. Banyak anak/murid yang
tidak maju, karena melakukan segala tindakan mengatas namakan nama besar
orang tua dan guru mereka. Menjadi anak dan murid membuat kita menjadi
berkesadaran, bukan menjadi bayi raksasa.
- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat),
Ahaaa…. disinilah sering kita temukan bahwa pergesekan sering terjadi
lantaran kalau hubungan antar keluarga/bermasyarakat tidak memiliki
dasar kemunusiaan atau humanity, tapi lebih banyak karena kelompok yang
menganggap lebih dari dari kelompok lain. Padahal jelas yang berkelompok
itu kan bersifat Kahewanan, justru bukan Karobanan (Kemanusiaan).
Sehingga menjatuhkan kemasyarakatan ini dengan mengatas namakan kelompok dan nama besar disana.
Kemasyarakatan ini harus dibangun dengan Kemanusiaan, kemanusian dari
pribadi kita tak lain adalah dengan adanya Budhi Welas Asih.
10. “Setan Nunggang Gajah”
Artinya: Berbuat se-mau-nya sendiri.
Saat kita berada didalam kendaraan sering kita melihat saudara kita
dimobil depan, keluar tangan membuang tisue atau plastik keluar dijalan.
Ada juga kadang di ruang terbuka maupun tertutup, orang yang merokok
seenaknya membuang puntungnya, belum lagi sampah dan lainnya. Dari
cerminan ini maka tidak heran secara akumulatif, masyarakat kita
terdidik secara tidak sengaja untuk berlaku semaunya, masa bodoh, cuek
tingkat tinggi, maka kalau ada korupsi waktu, fasilitas sampai uang dan
jabatan, kemungkinan karena didikan dari hal-hal sepele…
Ah… dalam hati kok terdetik, kenapa berbuat semaunya ya…
Kita hidup dalam masyarakat beradab, tapi karena toleransi yang
tinggi, kadang kita memperkosa hak-hak orang yang hidup toleran, kita
lebih mementingkan keagungan diri dan kelompok, daripada menjadi manusia
pribadi yang unik dan beradab yang sebenarnya harus kita junjung
tinggi.
Mulailah untuk tidak semaunya sendiri dari hal-hal kecil.
Dalam kehidupan berumah tangga, “Setan Nunggang Gajah”, sering
ditunjukan oleh pasangan yang seenaknya memperlakukan pasangan yang
lain, dimulai dari ketidak jujuran hal kecil biasanya… Pasangan sering
dianggap tidak perlu tahu terlalu banyak urusan pasangan yang lain…
Sehingga muncul semaunya tanpa memperhatikan perhatian dan perasaan dari
pasangannya.
Menjadi saling peduli dalam kejujuran adalah tips mujarap untuk menghindari sikap mental yang masa bodoh dan berlaku semuanya.
- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), kalau anak atau
murid sudah memulai kebohongan sekecil apapun, maka itu nantinya akan
menjadi bibit unggul untuk tumbuhnya sikap semaunya sendiri, maka orang
tua/guru harus berusaha untuk jeli dan juga memberikan pengarahan yang
tepat agar anak/murid mengerti menjadi manusia bertanggung jawab.
- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat),
perhatikanlah kiri kanan kita, tetangga kita, bukan ikut campur, tapi
tunjukan kepedulian kita dan rasa sikap empati dalam segala hal,
janganlah kita hanya maunya sendiri merasa tidak menganggu dan tidak
diganggu orang lain itu sudah dianggap menjadi orang yang baik/hidup
yang baik. Itu akan menimbulkan pembangunan masyarakat yang seutuhnya
tidak terjadi, dan akan menjadi tumpul, sehingga masyarakat gampang di
adu domba dan dipecah belah.
0 komentar:
Posting Komentar