Pertama, Prinsip Elastisitas Hukum (Adam al Haraj)
Islam adalah suatu agama yang universal
dan menjadi rahmat bagi sekalian alam. Karena bersifat universal itulah,
ajaran Islam akan selalu relevan dan kontekstual pada setiap zaman dan
tempat. Sehingga bisa mengayomi kehidupan seluruh umat manusia.
Ajarannya penuh dengan kesejukan dan sungguh tidak menghendaki
penganutnya dalam suatu kesulitan. Tuhan sendiri sebagai sang pencipta
tidak menghendaki kehidupan manusia berada dalam kesempitan akibat
adanya pembebanan yang ada di luar kemampuan hambaNya. Sebagaimana
firman-Nya dalam surat al hajj ayat 78 sebagai berikut:
Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.[1]
Ayat di atas menunjukkan bahwa di dalam Islam terdapat despensasi hukum atau yang lebih populer dengan istilah rukhshah.
Rukhshah diberikan oleh Tuhan dalam rangka menghindari kemudhorotan.
Taruklah contoh tentang kebolehan menjamak dan mengqoshor shalat tatkala
seseorang melakukan perjalanan yang dibolehkan sampai jarak yang telah
ditetapkan. Bahkan Allah menjadi marah apabila apa yang diberikan (rukhshah)
kita abaikan. Karena Allah Maha Mengetahui bahwa perjalanan itu
merupakan perihal yang melelahkan. Adanya despensasi ini, Karena pada
dasarnya, manusia sendiri tercipta dalam kondisi yang lemah.
Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa
pada prinsipnya hukum Islam itu bersifat fleksibel dan tidak rigid.
Tergantung situasi dan kondisi sehingga terwujud prinsip kemaslahatan.
Kedua, Prinsip Minimalisasi Beban Hukum (Taqlil al Taklif)
Dalam prinsip ini bagaimana manusia
tidak terjebak dalam sikap ritual yang berlebihan dan mengurangi dalam
menjalankan kewajiban agama. Karena hukum-hukum yang termaktub dalam al
Qur’an tidak menuntut mukallafin untuk mengerjakan kewajiban agama di
luar batas yang telah digariskan. Sekalipun tindakan tersebut dinilai
wajar menurut tradisi masyarakat setempat.
Ini mengindikasikan bahwa ternyata hukum
Islam sangat familiar dengan realitas, dikarenakan selalu memperhatikan
manusia untuk tidak terkungkung dalam ranah pembebanan yang
mengakibatkan kesulitan.
Oleh karenanya, manusia dilarang untuk
mencari sesuatu yang tidak perlu dan mengada-ada sesuatu yang belum
pernah dikerjakan Nabi yang pada akhirnya bisa mengarah pada suatu
tindakan dimana manusia merasa terbebani dan berada pada garis
pembebanan yang amat sulit.
Ketiga, Prinsip Gradualitas Dalam Legislasi Hukum (al Tadrij al Tasyri’)
Al Qur’an diturunkan bukan pada ruang
hampa namun bersentuhan langsung dengan tradisi yang sudah membudaya
dalam suatu masyarakat. fenomina yang berada di masyarakat sangatlah
komplit yang itu butuh penanganan yang serius. Karena untuk menghapus
suatu tradisi yang bertentangan dengan syari’at yang sudah mengakar
dalam suatu masyarakat sunngguh tidak mudah. Untuk memusnahkannya tidak
serta merta langsung memberlakukan aturan (hukum). Sebab hukum datang
melalui proses pergumulan panjang dengan realitas masyarakat.
Di dalam al Qur’an sendiri ketika
berbicara tentang suatu hukum tidak langsung menghukumi, akan tetapi
memberikan alternatif-alternatif untuk menemukan sisi negatifnya,
artinya hukum tidak datang sekaligus tanpa memperhatikan kondisi
masyarakat. Seperti pengharaman khamr. Pada mulanya Allah memberikan
gambaran tentang khamr, bahwa di dalam khamr mudhorotnya lebih besar
ketimbang mamfaatnya. Kemudian Allah melarang minum khamr pada saat
menjelang shalat., yang pada akhirnya Allah secara tegas lugas Allah
mengharamkan meiminum khamr, tentunya dengan pertimbangan kemaslahatan.
Dimana ketika khamr masuk menelusup dalam dinding anggota tubuh manusia,
maka, akal tidak lagi berfungsi normal.
Dari penetapan hukum yang telah tersaji
di atas menunjukkan bahwa ternyata hukum Islam senantiasa berpijak pada
prinsip peringanan beban manusia. Sehingga apa yang sudah menjadi
ketetapan suatu hukum berupa pengharaman tersebut bisa diterima dengan
ikhlas dan menumbuh kembangkan kesadaran untuk selalu berkomitmen pada
ajaran syari’ah.
Keempat, Sesuai Dengan Kemaslahatan Manusia (al Maslahah al Mursalah)
Hukum-hukum yang dilendingkan Tuhan
sarat dengan misi cita kemaslahatan. Semuanya itu diperuntukkan untuk
kepentingan dan pembenahan kehidupan manusia, baik yang ada sangkut
pautnya dengan jiwa, akal, keturunan, agama maupun dalam pengelolaan
harta benda.
Islam datang bukan untuk mendoktrin
penganutnya tetapi lebih mengarah pada kesejahteraan manusia. Sehingga
Allah memberikan kebebasan untuk mengelola dan memamfaatkan segala yang
ada di muka bumi ini senyampang tidak ada ketentuan dalil yang
melarangnya. Manusia bebas berkreasi dan berekspresi tetapi masih dalam
koredor syari’at. Ketetapan hukum yang tidak sejalan dengan prinsip
kemaslahatan maka ditangguhkan penggunaannya. Dan apabila kemaslahatan
tersebut terjadi paradok satu sama yang lain maka, yang lebih
diprioritaskan adalah kemaslahatan ammah yang di dalamnya mengusung keranda positif
Kelima, Persamaan Dan Keadilan (al Musawat Wa al ‘Adalah)
Allah menciptakan manusia dalam bentuk
berpasang-pasangan dan saling mengasihi satu sama lain serta bagaimana
berlaku adil. Antara yang satu dengan yang lain adalah sama. Ia Tidak
membedakan antara satu bangsa dengan bangsa yang lainnya. Bedanya adalah
sejauhmana penghambaan diri kepada Khaliqnya. Dalam arti, ketaqwaannya.
Hukum Allah berlaku umum untuk dilaksanakan oleh seluruh umat Islam.
Sebagai konsekwensinya, dosa atau bahkan kafir bagi mereka yang dengan
sengaja meninggalkan perintahNya.
Persamaan hak di muka hukum adalah salah
satu prinsip utama syari’at Islam baik hubungan secara vertikal
(makhluk dengan Khaliqnya) maupun horizontal (hubungan makhluk dengan
makhluk yang lain). Dalam hubungan horizontal ini Allah menganjurkan
untuk hidup memasyarakat dan bergaul dengan mereka tanpa memandang ras,
suku, dan bangsa . Sehingga dengan tindakan semacam itu bisa membentuk
komunitas yang di dalamnya tercipta unsur saling tolong menolong dalam
kebaikan (ta’aawun) serta mengingatkan bahwa kesuksesan dalam
suatu urusan diukur dan terkait erat dengan relasi interaksi dengan
manusia lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar