Pertanyaan:
Bagaimanakah cara niat zakat yang benar? Kapan niat ini dilakukan?
Jawaban:
Jawaban:
Alhamdulillah was shalawatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du…
Untuk kesekian kalinya, kami kembali mengingatkan bahwa berbeda antara niat dengan ikrar niat. Lafal niat yang banyak tersebar di masyarakat itu sejatinya bukan niat tapi lafal ikrar niat. Mengenai latar belakang munculnya lafal semacam ini, Anda bisa simak di:
www.konsultasisyariah.com/cara-niat-puasa-ramadhan-yang-benar/
Selanjutnya, jika boleh kami simpulkan bahwa sesungguhnya tidak ada lafal baku untuk niat zakat. Ketika hendak menunaikan zakat, dalam Islam tidak diajarkan agar seseorang mengucapkan: nawaitu zakata… atau nawaitu an ukhrija zakaata…dst.
Siapa pun sangat yakin bahwa lafal semacam ini tidak pernah diajarkan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat, termasuk para imam madzhab setelahnya. Karena sejatinya niat bukanlah di lisan. Niat adalah murni amal hati. Sehingga ketika seseorang itu sadar bahwa harta yang akan dia keluarkan itu adalah zakatnya, dan dia punya keinginan untuk menunaikan harta itu sebagai zakat maka ulama sepakat bahwa orang ini telah berniat zakat, meskipun tidak dia ucapkan. Karena –sekali lagi– hatinya sudah berniat untuk zakat.
Sebagai ilustrasi untuk membedakan antara zakat disertai niat dan tidak disertai niat:
Pertama, Si A memiliki harta di kota X dan kota Y. Hartanya di kota X dia sendiri yang mengelola, dan hartanya di kota Y dikelola oleh Si B. Ketika jatuh tempo, harta di kota Y harus dizakati. Setelah dihitung, Si B memberi info kepada Si A bahwa hartanya sejumlah sekian rupiah akan ditunaikan sebagai zakat.
Kedua, dengan kasus yang sama. Pada saat jatuh tempo zakat, Si A mengeluarkan dana untuk korban bencana alam sebagai CSR (Corporate social responsibility). Ketika mengeluarkan dana ini, tidak terbetik dalam hati Si A untuk menjadikan dana itu sebagai zakat hartanya.
Pada kasus pertama, Si A telah dinilai berniat untuk zakatnya, sehingga uang yang dia bayarkan sah sebagai zakat hartanya. Sementara untuk kasus kedua, Si A belum dinilai berniat zakat, sehingga dana sosial itu tidak dinilai sebagai zakat.
Hanya saja, ulama beda pendapat tentang niat zakat
Ada dua pendapat ulama dalam hal ini:
a. Mayoritas ulama –bahkan hampir semua ulama, selaian al-Auza’i– berpendapat bahwa niat merupakan syarat sah zakat.
b. Imam al-Auza’i berpendapat bahwa zakat tidak wajib niat. Sehingga zakat seseorang bisa ditunaikan orang lain, meskipun muzakki sendiri tidak tahu, sehingga dia tidak meniatkannya sebagai zakat. Alasannya karena zakat itu seperti utang, sehingga ketika membayarkannya tidak wajib diniatkan sebagai zakat, sebagaimana ketika seseorang melunasi utangnya.
An-Nawawi mengatakan:
لا يصح أداء الزكاة إلا بالنية في الجملة وهذا لا خلاف فيه عندنا، وإنما الخلاف في صفة النية وتفريعها، وبوجوبها قال مالك وأبو حنيفة والثوري وأحمد وأبو ثور وداود وجماهير العلماء، وشذ عنهم الأوزاعي فقال لا تجب ويصح أداؤها بلا نية كأداء الديون
“Tidak sah menunaikan zakat kecuali disertai niat secara umum. Tidak ada perbedaan dalam masalah ini dalam madzhab kami (Syafiiyah). Perbedaan hanya terjadi pada cara niat dan merinci niat. Ulama yang berpendapat wajibnya niat adalah Imam Abu hanifah, Imam Malik, at-Tsauri, Imam Ahmad, Abu Tsaur, Daud Zahiri, dan mayoritas ulama. Yang menyimpang dari pendapat mereka adalah Imam al-Auzai, beliau berpendapat, Tidak wajib niat, dan sah menunaikan zakat tanpa disertai niat, sebagaimana seseorang menunaikan utang.” (al-Majmu’, 6:180).
Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama, karena zakat termasuk bentuk ibadah, yang tentunya butuh niat sebagaimana ibadah lainnya.
Allahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar